Jumat, 22 Mei 2009

Jalan Mulia Berunsur Delapan (Hasta Arya Marga)

Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan pegangangan seorang Buddhis dalam keseharian merupakan jalan untuk menyelami kesunyataan tertinggi. Jalan Mulia Berunsur delapan diringkas menjadi tiga aspek kebijaksanaan, moralitas, Samadhi, (Pañña, Sila, samadhi). Penjabaran ini secara teoritis sebagai berikut:

1.Ucapan Benar } Sila (kemoralan)
2.Perbuatan benar
3.Mata pencaharian benar

4.Daya upaya benar } Samadhi (meditasi)
5.Perhatian benar
6.Konsentrasi benar.

7.Pandangan benar } Pañña (kebijaksanaan)
8.Pikiran Benar


Kotbah pertama Sang Buddha yang terkenal dengan ‘Dhamma cakka Pavatana Sutta’ pemutaran Roda Dhamma yang Pertama, yang di sampaikan di Sarnath kepada Lima Pertapa, kita temukan isi utama kotbah, yaitu Empat kesunyataan Mulia (Catur Arya Satyani) yang terdiri dari:
Dukkha : Penderitaan (tidak memuaskan)
Dukkha Samudaya : Sebab Penderitaan
Dukkha Niroda : Lenyapnya Penderitaan
Magga : Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan. Jalan menuju lenyapnya penderitaan ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan.


1.1. Kebijaksanaan (Pañña)

1.1.1. Pandangan benar
Dalam konsep diatas, jalan mulia berunsur delapan di bagi menjadi tiga aspek yaitu pañña, Sila, Samadhi. Sebelum di bagi menjadi tiga aspek, secara alami terkelompok menjadi dua bagian yaitu Pandangan benar di sebut sebagai Jalan visi (darsana –marga) dan jalan Transformasi (bhavana-marga) yamg merupakan tujuh unsur lainnya. Pandangan benar mewakili fase kesadaran awal dan pengalaman, sedangkan ketujuh lainnya merupakan fase transformasi seluruh kehidupan seseorang, segala kualitas dan aspeknya, sejalan dengan kesadaran dan pengalaman spiritual tersebut. Hal ini merepresentasikan transformasi yang lengkap dan menyeluruh kehidupan pikiran, perkataan, hubungan dengan orang lain, mata pencahariaan dan seterusnya walaupun tidak perlu berurutan.

Pandangan benar adalah: pengertian terhadap segala fenomena menurut hakekat yang sebenarnya dengan penembusan kedalam empat kesunyataan mulia. Pandangan benar ini dapat muncul dengan cara yang berbeda untuk setiap orang. Misalnya melalui tragedy, kehilangan orang yang dicintai, pengalaman mistis yang spontan, pengalaman kita dengan alam, melihat lukisan yang indah, mendengarkan musik, melalui mimpi dan sebagainya. Dalam kondisi tertentu inilah orang akan mulai melihat lebih dalam, merenungkan akan arti dan tujuan hidup ini.

Bagi mereka para pemikir, filsuf dan orang bijaksana lainnya, mereka meyelami kehidupan berdasarkan akal dan logika, berpikir untuk menembus kesunyataan, kedalam visi Sang Jalan. Dan bagi para meditator pendangan benar ini akan muncul sebagai hasil dari latihan meditasi. Dan mereka-mereka pekerja social akan menemukan pandanagan benar ini saat mereka melakukan aktivitas ditengah-tengah masyarakat, merwat orang sakit, melihat dan merawat orang jompo, walaupun tidak disadari oleh keadaan biasa pandangan benar ini muncul.
Sehingga pandangan benar ini bisa dikatakan sebagai tumpukan pengalaman hidup. Yang terpenting dengan cara apapun pandangan sempurna ini muncul, kita harus waspada dan menjaganya agar tidak hilang dan terlupakan. Kita harus menghargainya, memeliharanya, merenungkannya, mencoba mendalaminya, menyelaminya dan mengembangkannya setiap saat, secra bertahap menyerap dan mentransformasikannya keseluruh hidup dan kehidupan kita.
Jalan visi dan Jalan Transformasi adalah untuk membuat kita mapu untuk membawa seluruh hidup, kehidupan dan keberadaan kita dalam semua tingkatan ke tingkat yang paling tinggi. Inilah yang dimaksud dengan kemajuan batin atau spiritual. Dengan mengikuti Jalan mulia Berunsur delapan akan memperoleh pandangan sempurna dengan cara masing-masing, dan kemudian mengubah seluruh aspek kehidupan kita berdasarkan pendangan tersebut.
Diatas telah disebutkan bahawa, Pandangan benar adalah: pengertian terhadap segala fenomena menurut hakekat yang sebenarnya dengan penembusan kedalam empat kesunyataan mulia. Secara prinsip ada dua cara untuk mengkomonikasikan suatu pandangan, yaitu: melalui Gambaran (image) dan melalui konsep-konsep.

Dalam agama Buddha ada tiga gambaran (image) utama tentang hakikat keberadaan, yaitu: Roda kehidupan, Buddha, dan Sang Jalan.

(a). Roda Kehidupan
Roda kehidupan digambarkan sebagai empat lingkaran konsentris. Lingkaran tengah sebagai poros roda ada tiga binatang yaitu: ayam jantan, ular, babi, yang masing-masing digambarkan sedang ekor didapannya. Binatang-binatang ini menggambarkan tiga racun (kekotoran batin) keserakahan, kebencian, kebodohan, yang menguasai pikiran kita dan memutar roda kehidupan.

Di luar poros ada lingkaran kedua yang terdiri dari dua bagian, hitam dan putih. Bagian putih menunjukkan jalan kenbajikan dan bergerak keatas, yaitu keadaan yang lebih bahagia, sedangkan bagian hitam mewakili jalan kejahatan yang membuat gerakan kebawah, yaitu keadaan yang menyedihkan.
Lingkaran selanjutnya terbagi dalam enam segmen yang menunjuk enam ‘dunia’ atau ruang kehidupan didalamnya, menurut pandangan agama Buddha, hidup makhluk-makhluk yang terus bertumimbal lahir. Enam dunia ini adalah alam para dewa, raksasa, manusia, binatang, setan kelaparan, dan makhluk-mahluk neraka.
Lingkaran paling luar, merupakan bingkai roda, terbagi dalam dua belas segmen. Inilah dua belas nidana atau rantai proses yang biasa disebut”sebab-musaba yang saling bergantungan” paticca Samupada, yang menguraikan secara terperinci keseluhan proses kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali.
Itulah image atau symbol agung pertama. Ini yang pertama-tama kita lihatketika memperoleh pandangan terang tentang hakikat segala yang ada. Kita melihat seluruh keberadaan yang berkondisi, berputar terus seperti sebuah roda yang besar - roda kehidupan, roda kematian - dengan kita bersama-sama dengan seluruh makhluk hidup lain terperangkap di dalamnya. Kita melihat bahwa Roda Kehidupan ini sebenarnya adalah kita, adalah makhluk hidup, adalah segala yang ada dan berkondisi.

(b) Buddha
Buddha digambarkan sedang duduk diatas kelopak bunga teratai atau di bawah sebuah pohon bodhi, pohon pencerahan, dengan cabang-cabangnya yang besar dan dengan kerindangan daun-daunnya yang indah berbentuk hati. Pada saat itu Buddha memancarkan cahaya yang beraneka warna.
Versi lain adalah gambaran tentang mandala lima Buddha. Di pusat mandala (lingkaran) terdapat Buddha berwarna putih, disisi timurnya Buddha berwarna biru tua, disis selatan Buddha berwarna kuning, disisi barat Buddha berwarna merah, disisi utara Buddha berwarna hijau.
Gambaran Buddha versi ‘Sukhawati’ dengan gambar Buddha bersama-sama para Bodhisatva yang menghadirinya, bersama-sama burung-burung bersuara menakjubkan dan keagungan-keagungan lainnya.

(c ) Sang Jalan
Sang jalan dikenal sebagai jalan spiritual atau jalan spiral, menghubungkan dua symbol diatas, sehingga dapat dikatan menjembatani dari Roda Kehidupan sampai kepada Buddha atau ke mandala lima Buddha.
Ketiganya inilah merupakan tiga symbol agung yang dipakai oleh agama Buddha untuk mengkomunikasikan pandangannya tentang keberadaan atau kehidupan.
Pandangan sempurna merupakan sebuah Pandangan pertama atas keadaan actual kita saat ini yang masih diperbudak oleh keberadaan yang berkondisi yang digambarkan oleh roda kehidupan.

Selanjutnya adalah pandangan terhadap potensi keadaan masa depan kita dengan pencapaiaan pencerahan yang tergambar dalam Buddha atau Mandala Lima Buddha.
Dan terakhir merupakan pandangan terhadap cara ajalan yang akan membawa kita dari keadaan pertama kekeadaan berikutnya (pencerahan) suatu pandangan tentang seluruh arah masa depan evolusi uamat manusia.
Tentang hakikat segala sesuatu yang ada atau keberadaannya dapat di komunikasikan melalui konsep-konsep. Secara tradisional dijelaskan istilah ‘melihat’ dan ‘mengerti’ kebenaran suatu konsep tertentu yang dikatagorikan secara doctrinal. Disini disampaikan empat konsep terpenting yaitu:
Empat kesunyataan mulia, tiga corak dari keberadaan yang berkondisi, karma dan punarbhava, dan empat (4) sunyata.

(d). Empat Kebenaran Mulia
Pandangan benar merupakan suatu pandangan, atau pengertian tentang empat Kebenaran Mulia.

(i) Dukkha : Kebenaran tentang Penderitaan (ketidak puasan) yang
kita alami maupun kita lihat.
(ii) Dukkha Samudaya : Kebenaran tentang Sebab Penderitaan, yaitu napsu
keinginan, atau ‘kehausan’ yang ada dalam diri kita
maupun setiap makhluk lain.
(iii) Dukkha Niroda : Kebenaran tentang Lenyapnya Penderitaan secara total
sinonim dengan penceraha atau kebuddhaan.
(iv) Magga : Kebenaran tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan,
yaitu jalan mulia berunsur delapan.

Kebenaran mulia pertama dan kedua, yaitu penderitaan dan sebab penderitaan adalah berhubungan dengan gambaran tentang Roda Kehidupan. Lenyapnya penderitaan berhubungan dengan gambaran tentang Buddha atau Mandala Lima Buddha. Kebenaran keempat yaitu jalan mulia Berunsur Delapan, berhubungan dengan gambaran Tentang Sang Jalan.

(e) Tiga Corak Keberadaan yang berkondisi

tiga corak itu ialah:
(i) bahwa keberadaan yang berkondisi merupakan penderitaan. Ada tiga jenis penderitaan yaitu: (a) penderitaan biasa (sakit dll) (b) Penderitaan potensial (berpisah dengan sesuatu yang dilekati) (c) penderitaan mettafisika, yaitu tidak sesuatupun didunia ini, di dalam segala yang berkondisi, yang dapat memberi kepuasan sepenuhnya kepada hati dan pikiran manusia. Kepuasan yang sesungguhnya dan abadi hanya dapat ditemukan di dalam ‘yang tak berkondisi’ yaitu di dalam kebenaran itu sendiri. Seseorang tidak akan benar-benar bahagia sebelum mencapai pencerahan.

(ii) bahwa keberadaan yang berkondisi tidak kekal, karena mengalami perubauahan. Tidak ada yang tetap sama, bahkan dalam dua detik yang berurutan. Kita menjadi tua setiap saat, dan segala sesuatu di sekeliling kita pun lapuk setiap saat. Pandangan benar berkenaan dengan benda-benda duniawi, yaitu meliaht dengan jelas dan terang bahwa segalany tidak kekal, segalanya berubah, dan bahwa kita tidak dapat bergantung pada apa pun dalam waktu yang lama – setelah beberapa waktu, kita pun harus melepasnya.

(iii) bahwa keberadaan yang berkondisi tidak ada ‘inti’ yang sejati di dalamnya bisa dikatan disini bahwa dalam kita sendiri sebagai sesesuatu yang berkondisi, dapat kita temukan inti yang kekal.

(f) Karma dan Tumimbal lahir
Dalam kitab-kitab Buddhis ddijelaskan, menurut Buddha dan makhluk-makhluk yang telah mencapai pencerahan bahwa sesaat sebelum pencapaian penerangan sempurna mereka melihat dengan mata pikirannya suatu panaroma kelahiran-kelahiran, kematian-kematian, dan kelahiran kembali bukan hanya mereka sendiri tetapi makhluk hidup lain, seluruh makhluk hidup. Dengan mengikuti seluruh proses karma dari satu kehidupan kehidupan lainnya, mereka dapat melihat dengan jelas bagaimana manusia menderita atau menemukan kebahagiaan sebagai konsekuensi dari perbuatan mereka sebelumnya, dan bagaimana mereka terlahir kembali sesuai dengan cara hidup mereka dalam kehidupan – kehidupan sebelumnya.
(g) Empat Sunyata
(i) Samskrta Sunyata atau kekosongan sesuatu yang berkondisi. Bahwa segala sesuatu yang berkondisi, menggejala, dan relatif itu kosong dari karakteristk yang tak berkondisi, dari yang absolut, dari kebenaran. Karakteristik dari yang tak berkondisi adalah: kebahagiaan (sementara), kekalan (sementara), diri sejati, realitas sejati.

Keberadaan yang berkondisi itu kosong dari karakteristik yang tak berkondisi. Sebaliknya yang tak-berkondisi kosong dari penderitaan, ketidakkekalan, dan ketampaintian. Yang berkondisi kosong dari yang tak berkondisi, Samsara kosong dari nirvana. Kita tidak perlu berharap menemukan sesuatu dalam keberadaan dunia yang relatip ini, sesuatu yang tak – berkondisi, yang absolut.

(ii) Asamskrta Sunyata atau kekosongan dari yang tak –berkondisi. Bahwa yang tak berkondisi kosong dari karakteristik yang berkondisi. Di dalam yang tak berkondisi, nirvana, tidak ada penderitaan, tidak ada ketidak kekalan, dan tidak ada yang tidak nyata/sejati, hanya karakteristik sebaliknya yang ada. Inilah kekosongan dari yang tak berkondisi. Di dalam yang berkondisi kita tidak akan menemukan yang tak-berkondisi, begitu pun di dalam yang tak-berkondisi, kita tidak akan menemukan yang berkondisi.

(iii) Maha Sunyata atau kekosongan agung, dimana segala perbedaan, segala dualisme hilang, lenyap, dihapuskan.

(iv) Sunyata Sunyata atau kekosongan dari kekosongan, bahwa kita akan menyadari bahwa kekosongan itu sendiri pun hanya konsep, hanya suatu kata, sebuah bunyi. Disini tidak ada lagi yang dapat dikatakan, yang tersisisa hanya ketenangan – dan tentu saja, ketenangan berarti ‘ ketenangan yang bergema’ Sugimin Hadi Wibowo (bersambung)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda